You are currently browsing the tag archive for the ‘jacky anwar makarim’ tag.

Oleh Sang Nyoman Suwisma

“Angkatan Perang Republik Indonesia, lahir di medan perjuangan kemerdekaan nasional di tengah-tengah dan dari revolusi rakyat, dalam pergolakan membela kemerdekaan itu. Karena itu Angkatan Perang Republik Indonesia adalah Tentara Nasional, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi.”

(Jenderal Besar Sudirman)

wirantoDi tengah ingar-bingar suasana kampanye Pilpres 2009, Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih laris manis menjadi dagangan (komoditi) politik. Meski secara kelembagaan, TNI berposisi netral, tetapi dalam praktik, ia menjadi institusi yang mengalami tarik-menarik dahsyat di antara para kandidat yang memiliki latar belakang militer. Bisa dipahami, karena para kandidat juga memiliki pengikut dan pembantu, yang ada kalanya, juga berlatar belakang militer.

Dalam keadaan seperti itu, tidak sedikit para purnawirawan TNI yang harus bekerja ekstra keras menangkis berbagai serangan terkait dengan isu HAM. Tangkisan-tangkisan atas berbagai stigma buruk yang dikhawatirkan bisa merusak reputasi yang sedang dibangun, dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dalam bentuk publikasi sebuah buku.

_144292_Gen_Prabowo_Subianto_file_photo_150_(3-8-98_)_apTahun 2004, Jenderal TNI (Pur) Wiranto menerbitkan salah satu buku antara lain berjudul ”Bersaksi di Tengah Badai”. Dalam buku setebal 348 halaman itu, Wiranto mengklarifikasi sejumlah isu penting, antara lain terkait hubungannya dengan Prabowo Subianto, yang pada Pilpres 2009, muncul sebagai kandidat Wakil Presiden.

Di sisi lain, Letjen (Pur) Prabowo Subianto tak sepi dari terpaan isu pelanggaran HAM terkait kasus penculikan aktivis. Secara mengejutkan, di tengah maraknya musim kampanye, meluncur sebuah buku ”Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”. Buku setebal 520 halaman itu sontak menjadi terkenal karena sebagian isinya justru memaparkan hal-hal bernada negatif terkait Prabowo Subianto. Alhasil, tak lama kemudian, Prabowo pun meluncurkan buku sebagai counter.

34369Kedua buku terdahulu, ”Bersaksi di Tengah Badai” (Wiranto) dan ” Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” (Sintong Panjaitan), secara kebetulan, menyinggung sebuah ”kasus” yang melibatkan nama penulis di dalamnya. Saat membaca buku pertama (Wiranto), penulis tidak terlalu memerhatikan, dan cukup penulis endapkan sebagai pengalaman pahit hidup. Akan tetapi, ketika ”kasus” yang sama juga disinggung pada buku Sintong, yang kemudian menyoal justru masyarakat Bali pada umumnya, dan orang-orang terdekat pada khususnya. Terlebih khusus, masyarakat Hindu di seluruh dunia, dan masyarakat Hindu di Indonesia (khususnya Bali), tentunya.

”Kasus” yang dimaksud adalah perihal adanya intervensi dari Prabowo Subianto terhadap keputusan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti), yang memutuskan penulis menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Lebih lengkapnya, penulis kutip dari kedua buku di atas.

Berikut kutipan dari buku ”Bersaksi di Tengah Badai” (Wiranto): ”… pada saat saya menjabat Kasad, didasarkan suatu proses yang fair melalui persidangan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) di tingkat Mabes ABRI telah diputuskan pengganti Danjen Kopassus (Mayjen Prabowo Subianto) adalah Brigjen Suwisma (Mayjen TNI SN Suwisma, ketika sebagai Panglima Divisi I Kostrad – pen). Namun keputusan itu sempat gagal, ketika Mayjen Prabowo langsung menghadap Pak Harto untuk memberikan masukan lain mengenai calon Danjen Kopassus. Menurutnya, Brigjen Suwisma tidak tepat karena beragama beda dengan mayoritas prajurit Kopassus (ini menurut penjelasan Pak Harto kemudian kepada saya di lain kesempatan). Selanjutnya, secara pribadi diusulkan Mayjen Muchdi PR yang saat itu menjabat sebagai Pangdam di Kalimantan.” (halaman 27)

Sementara itu, dalam buku Sintong (halaman 28), kutipannya sebagai berikut:

”… Begitu powerfull-nya, Prabowo dapat menggagalkan keputusan rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Sempat tercatat Wanjakti memutuskan Mayjen TNI SN Suwisma diangkat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, tetapi Prabowo memberikan masukan kepada Soeharto bahwa SN Suwisma tidak tepat untuk menduduki jabatan itu, karena ia beragama Hindu yang tidak sesuai dengan sebagian besar agama yang dipeluk oleh anggota Kopassus. Akhirnya, pengangkatan Mayjen TNI Suwisma dibatalkan, kemudian diganti oleh Mayjen Muchdi PR…. Menurut Sintong, seandainya pengangkatan Suwisma tidak diintervensi, nasib Muchdi PR tidak seperti sekarang ini.”

Kedua fakta sejarah yang diungkap oleh para purnawirawan jenderal tadi, membersitkan fakta betapa lembaga-lembaga formal di tubuh TNI menjadi tidak berdaya karena praktik kekuasaan, yang berujung pada kepentingan diri pribadi, kelompok, dan golongan dengan mengorbankan sendi-sendi lain. Bukan saja merugikan penulis selaku pribadi, tetapi juga menyangkut institusi TNI dan masyarakat Hindu pada umumnya. Terhadap institusi, maka kiprah nepotisme tadi telah merusak tradisi militer. Sedangkan sisi yang lain, betapa seorang Prabowo telah bertindak SARA tanpa berpikir akibatnya.

Terlebih, TNI bukanlah institusi agama. TNI adalah alat negara, lahir dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia. TNI senantiasa menjadi sentral sejarah. Baik semasa pra kemerdekaan (dalam bentuk laskar-laskar), era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga saat-saat bangsa dan negara ini mengalami pasang surut sejarah. Selama itu pula, TNI memainkan peran strategis, mengawal bangsa dan negara ini menuju cita-citra proklamasi 17 Agustus 1945.

Terlebih institusi Kopassus, sebagai pasukan elite, pasukan profesional di tubuh Angkatan Darat, senantiasa mengedepankan profesionalisme. Jauh dari hal-hal yang berbau SARA. Karenanya, fakta di atas, sungguh telah menodai sendi-sendi profesionalisme dan etika dasar di tubuh TNI.

Fakta sejarah tadi tentu saja mengusik rasa masygul yang lama terpendam. Demi Ida Sang Hyang Widi Wasa, demi Tuhan Yang Maha Esa, rasa masygul tadi bukan karena penulis batal menjadi Danjen Kopassus. Sebagai prajurit Sapta Marga, setiap prajurit TNI pada hakikatnya loyal kepada setiap keputusan pimpinan. Rasa keprihatinan yang mendalam tadi semata-mata akibat empat hal. Pertama, karena telah terdistorsinya lembaga terhormat sekelas Wanjakti. Kedua, adanya tindakan indisipliner, tidak loyal dan praktik nepotisme oleh seorang prajurit (Mayjen Prabowo). Ketiga, menggunakan isu SARA guna melegalisir menghambat jabatan seseorang untuk sesuatu kepentingan. Keempat, menimbulkan pertanyaan banyak orang, ”ada salah apa” Mayjen Suwisma sampai dibatalkannya menjadi Danjen Kopassus.

Insiden yang telah terpapar dalam kedua buku ”best seller” tadi, dengan sendirinya telah menguak aib ihwal jatidiri dan profesionalisme TNI. Terlebih bahwa pada hakikatnya, setiap prajurit memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kenaikan pangkat dan/atau jabatan berdasarkan prestasinya sesuai dengan pola karier yang berlaku dengan mempertimbangkan kepentingan TNI dan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Esensi ini telah dilanggar dengan aksi intervensi terhadap keputusan Wanjakti tadi.

Penulis masih ingat persis peristiwa menjelang Rapim ABRI, Februari 1996. Ketika itu, KSAD Jenderal (TNI) Wiranto memanggil sejumlah perwira tinggi TNI-AD. Pertemuan itu antara lain membicarakan keputusan Wanjakti mengenai rencana mutasi dan promosi jabatan tinggi di lingkungan TNI, khususnya TNI-AD.

Keputusan Wanjakti itu adalah, Jenderal Wiranto (dari KSAD menjadi Panglima ABRI), Subagyo HS (dari Wakasad menjadi KSAD), Sugiyono (menjadi Wakasad), Susilo Bambang Yudhoyono (dari Assospol Kassospol menjadi Kassospol ABRI), Prabowo Subianto (dari Danjen Kopassus menjadi Pangkostrad), SN. Suwisma (dari Pang. Divisi I Kostrad menjadi Danjen Kopassus), dan Fachrul Razi (menjadi Kasum ABRI). Ada dua nama lain yang tidak masuk dalam jajaran perwira tinggi mutasi atau promosi tetapi hadir dalam pertemuan itu adalah Sjafrie Sjamsudin dan Jacky Anwar Makarim.

Dalam kesempatan pertemuan itu, penulis ingat, sama sekali tidak ada suara keberatan dari salah satu pihak pun, terhadap hasil keputusan Wanjakti. Karenanya, menjadi topik yang sangat hangat di lingkungan TNI ketika itu, manakala Prabowo menempuh jalan pintas, menghadap Presiden Soeharto, dan menggagalkan salah satu keputusan menyangkut diri penulis, menjadi Danjen Kopassus.

Selain, praktik nepotisme yang dilakukan Prabowo, adalah tindakan tidak sportif, serta pengingkaran nyata dari jati diri sebagai seorang prajurit Sapta Marga. Lebih dari itu, isu SARA (agama) yang dijadikan dasar untuk menghambat hak seorang prajurit memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kenaikan pangkat dan/atau jabatan, adalah sebuah noda hitam yang terjadi di lingkungan ABRI (TNI) yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, di mana semua warga negara memiliki hak yang sama, tanpa memandang asal-usul daerah, agama, ras, dan golongan.

Insiden yang lama penulis pendam, kemudian terkuak secara terbuka oleh dua buku yang tersebut di atas, dengan sendirinya telah melukai warga negara bergama Hindu khususnya, dan minoritas pada umumnya. Maka, sudah sepantasnya, demi menjaga citra dan harga diri TNI, para pihak yang terkait dengan kasus tersebut, melakukan klarifikasi, serta meminta maaf secara terbuka kepada umat Hindu di Indonesia dan dunia.

Tulisan kesaksian ini, penulis susun atas dasar desakan umat Hindu di dunia, dan umat Hindu di Bali khususnya, serta orang-orang dekat, agar persoalan di atas mendapat perhatian yang semestinya. Terlebih, pasca tereksposenya kedua buku tadi, seorang tokoh agama Hindu berkata kepada penulis, ”Jangan menyesal jadi orang Hindu.”

Kata-kata yang sungguh menusuk. Bukan saja karena sekecil debu pun tidak ada penyesalan. Akan tetapi, jika lantaran kasus tadi berkembang pemikiran bahwa penulis menyesal menjadi orang Hindu, atau karena beragama Hindu maka penulis gagal menjadi Danjen Kopassus, maka tentu saja penulis akan merasa bersalah jika tidak melakukan klarifikasi atau kesaksian ini.

Selain itu, kesaksian ini perlu penulis kemukakan, bukan saja demi menjaga citra dan jati diri luhur TNI, tetapi demi menjaga stabilitas dan kerukunan umat beragama, yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Lebih dari itu semua, hal ini penulis kemukakan sebagai wujud pertanggung jawaban moral purnawirawan TNI yang tidak ingin lembaga TNI makin kehilangan kredibiltas dan jati dirinya.

Ke depan, disertai harapan, tragedi yang penimpa penulis, tidak akan pernah terjadi lagi di institusi TNI. Harapan pula, setiap prajurit TNI bisa menyatukan pikiran, ucapan, dan tata laksana dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan profesionalnya. ***

Mayjen TNI (Pur) Sang Nyoman Suwisma

Mantan Wadanjen Kopassus, mantan Kepala Staf Kostrad

April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Laman

Kategori