logo pepabriSetelah mencermati dan menilai dengan seksama perkembangan situasi  politik dan keamanan yang terjadi selama penyelenggaraan pemilu Presiden 2009 sampai dengan hari ini, terdapat hal-hal yang kurang kondusif bahkan mengkhawatirkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ketidak puasan ,kesalahpahaman dan ketegangan yang terjadi pasca penyelenggaraan Pemilu harus dapat dicegah, agar tidak berkembang menjadi isu yang membingungkan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada hari ini Senin 10 agustus 2009 PEBABRI selaku organisasi kemasyarakatan non-partisipan dan sebagai kekuatan moral merasa perlu untuk menyampaikan sikap dan seruan sebagai berikut :

PERTAMA

Bahwa proses pemilu 2009 telah berjalan secara demokratis, lancar, aman  dan diselesaikan sesuai dengan peraturan  dan perundangan–undangan yang berlaku serta jadwal yang telah ditetapkan, meskipun di sana-sini masih terdapat kelemahan dan kekurangan.

Untuk itu PEPABRI menyampaikan penghargaan kepada seluruh masyarakat, lembaga dan institusi yang secara langsung maupun tidak langsung telah berperan aktif dalam rangkaian pelaksanaan Pemilu 2009.

Kelemahan dan kekurangan yang masih  sering terjadi perlu dijadikan pelajaran bagi penyempurnaan penyelengaraan Pemilu dimasa yang akan datang.

KEDUA

Bahwa berdasarkan hasil perhitungan suara oleh  KPU tanggal 22 Juli yang lalu telah menetapkan pasangan Capres – Cawapres DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO dan PROF.DR.BOEDIONO  sebagai peraih suara terbanyak, dengan ini PEPABRI menyampaikan selamat, permasalahan-permasalahan yang masih harus diselesaikan di tingkat Mahkamah Konstitusi agar dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi semua pihak .

KETIGA

Kepada semua jajaran PEPABRI di semua tingkatan, agar tetap bersikap bijaksana dalam menghadapi perkembangan situasi di daerah masing-masing, dengan selalu mengutamakan  persatuan, kesatuan, kekompakan dan ketertiban baik dalam hubungan internal PEPABRI maupun dalam interaksi sosial PEPABRI dengan komponen masyarakat lainnya.

KEEMPAT

Mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar bersama-sama menjaga dan memelihara dan suasana  tertib hukum dan selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban yang dapat merugikan upaya pembangunan bangsa.

KELIMA

Pada kesempatan ini PEPABRI berharap agar hasil pemilu 2009 dapat meningkatkan kesejahteraan dan mengangkat harkat serta martabat bangsa. Untuk itu, semua pihak hendaknya dapat menerima segala keputusan tentang pemilu 2009 yang diselesaikan dan ditetapkan melalui jalur hukum. Demikian seruan kami, Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan Rahmat dan Hidayah-NYA kepada bangsa Indonesia, Amin.

A.N. DEWAN PIMPINAN PUSAT

KETUA UMUM

H.AGUM GUMELAR

Jenderal TNI (Purn)


SEKRETARIS JENDERAL

DRS.YUN MULYANA

Komjen Pol  (Purn)


DEWAN PERTIMBANGAN PUSAT

Ketua

WISMOYO ARISMUNANDAR

Jendral TNI (Purn)

Oleh Sang Nyoman Suwisma

“Angkatan Perang Republik Indonesia, lahir di medan perjuangan kemerdekaan nasional di tengah-tengah dan dari revolusi rakyat, dalam pergolakan membela kemerdekaan itu. Karena itu Angkatan Perang Republik Indonesia adalah Tentara Nasional, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi.”

(Jenderal Besar Sudirman)

wirantoDi tengah ingar-bingar suasana kampanye Pilpres 2009, Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih laris manis menjadi dagangan (komoditi) politik. Meski secara kelembagaan, TNI berposisi netral, tetapi dalam praktik, ia menjadi institusi yang mengalami tarik-menarik dahsyat di antara para kandidat yang memiliki latar belakang militer. Bisa dipahami, karena para kandidat juga memiliki pengikut dan pembantu, yang ada kalanya, juga berlatar belakang militer.

Dalam keadaan seperti itu, tidak sedikit para purnawirawan TNI yang harus bekerja ekstra keras menangkis berbagai serangan terkait dengan isu HAM. Tangkisan-tangkisan atas berbagai stigma buruk yang dikhawatirkan bisa merusak reputasi yang sedang dibangun, dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dalam bentuk publikasi sebuah buku.

_144292_Gen_Prabowo_Subianto_file_photo_150_(3-8-98_)_apTahun 2004, Jenderal TNI (Pur) Wiranto menerbitkan salah satu buku antara lain berjudul ”Bersaksi di Tengah Badai”. Dalam buku setebal 348 halaman itu, Wiranto mengklarifikasi sejumlah isu penting, antara lain terkait hubungannya dengan Prabowo Subianto, yang pada Pilpres 2009, muncul sebagai kandidat Wakil Presiden.

Di sisi lain, Letjen (Pur) Prabowo Subianto tak sepi dari terpaan isu pelanggaran HAM terkait kasus penculikan aktivis. Secara mengejutkan, di tengah maraknya musim kampanye, meluncur sebuah buku ”Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”. Buku setebal 520 halaman itu sontak menjadi terkenal karena sebagian isinya justru memaparkan hal-hal bernada negatif terkait Prabowo Subianto. Alhasil, tak lama kemudian, Prabowo pun meluncurkan buku sebagai counter.

34369Kedua buku terdahulu, ”Bersaksi di Tengah Badai” (Wiranto) dan ” Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” (Sintong Panjaitan), secara kebetulan, menyinggung sebuah ”kasus” yang melibatkan nama penulis di dalamnya. Saat membaca buku pertama (Wiranto), penulis tidak terlalu memerhatikan, dan cukup penulis endapkan sebagai pengalaman pahit hidup. Akan tetapi, ketika ”kasus” yang sama juga disinggung pada buku Sintong, yang kemudian menyoal justru masyarakat Bali pada umumnya, dan orang-orang terdekat pada khususnya. Terlebih khusus, masyarakat Hindu di seluruh dunia, dan masyarakat Hindu di Indonesia (khususnya Bali), tentunya.

”Kasus” yang dimaksud adalah perihal adanya intervensi dari Prabowo Subianto terhadap keputusan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti), yang memutuskan penulis menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Lebih lengkapnya, penulis kutip dari kedua buku di atas.

Berikut kutipan dari buku ”Bersaksi di Tengah Badai” (Wiranto): ”… pada saat saya menjabat Kasad, didasarkan suatu proses yang fair melalui persidangan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) di tingkat Mabes ABRI telah diputuskan pengganti Danjen Kopassus (Mayjen Prabowo Subianto) adalah Brigjen Suwisma (Mayjen TNI SN Suwisma, ketika sebagai Panglima Divisi I Kostrad – pen). Namun keputusan itu sempat gagal, ketika Mayjen Prabowo langsung menghadap Pak Harto untuk memberikan masukan lain mengenai calon Danjen Kopassus. Menurutnya, Brigjen Suwisma tidak tepat karena beragama beda dengan mayoritas prajurit Kopassus (ini menurut penjelasan Pak Harto kemudian kepada saya di lain kesempatan). Selanjutnya, secara pribadi diusulkan Mayjen Muchdi PR yang saat itu menjabat sebagai Pangdam di Kalimantan.” (halaman 27)

Sementara itu, dalam buku Sintong (halaman 28), kutipannya sebagai berikut:

”… Begitu powerfull-nya, Prabowo dapat menggagalkan keputusan rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Sempat tercatat Wanjakti memutuskan Mayjen TNI SN Suwisma diangkat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, tetapi Prabowo memberikan masukan kepada Soeharto bahwa SN Suwisma tidak tepat untuk menduduki jabatan itu, karena ia beragama Hindu yang tidak sesuai dengan sebagian besar agama yang dipeluk oleh anggota Kopassus. Akhirnya, pengangkatan Mayjen TNI Suwisma dibatalkan, kemudian diganti oleh Mayjen Muchdi PR…. Menurut Sintong, seandainya pengangkatan Suwisma tidak diintervensi, nasib Muchdi PR tidak seperti sekarang ini.”

Kedua fakta sejarah yang diungkap oleh para purnawirawan jenderal tadi, membersitkan fakta betapa lembaga-lembaga formal di tubuh TNI menjadi tidak berdaya karena praktik kekuasaan, yang berujung pada kepentingan diri pribadi, kelompok, dan golongan dengan mengorbankan sendi-sendi lain. Bukan saja merugikan penulis selaku pribadi, tetapi juga menyangkut institusi TNI dan masyarakat Hindu pada umumnya. Terhadap institusi, maka kiprah nepotisme tadi telah merusak tradisi militer. Sedangkan sisi yang lain, betapa seorang Prabowo telah bertindak SARA tanpa berpikir akibatnya.

Terlebih, TNI bukanlah institusi agama. TNI adalah alat negara, lahir dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia. TNI senantiasa menjadi sentral sejarah. Baik semasa pra kemerdekaan (dalam bentuk laskar-laskar), era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga saat-saat bangsa dan negara ini mengalami pasang surut sejarah. Selama itu pula, TNI memainkan peran strategis, mengawal bangsa dan negara ini menuju cita-citra proklamasi 17 Agustus 1945.

Terlebih institusi Kopassus, sebagai pasukan elite, pasukan profesional di tubuh Angkatan Darat, senantiasa mengedepankan profesionalisme. Jauh dari hal-hal yang berbau SARA. Karenanya, fakta di atas, sungguh telah menodai sendi-sendi profesionalisme dan etika dasar di tubuh TNI.

Fakta sejarah tadi tentu saja mengusik rasa masygul yang lama terpendam. Demi Ida Sang Hyang Widi Wasa, demi Tuhan Yang Maha Esa, rasa masygul tadi bukan karena penulis batal menjadi Danjen Kopassus. Sebagai prajurit Sapta Marga, setiap prajurit TNI pada hakikatnya loyal kepada setiap keputusan pimpinan. Rasa keprihatinan yang mendalam tadi semata-mata akibat empat hal. Pertama, karena telah terdistorsinya lembaga terhormat sekelas Wanjakti. Kedua, adanya tindakan indisipliner, tidak loyal dan praktik nepotisme oleh seorang prajurit (Mayjen Prabowo). Ketiga, menggunakan isu SARA guna melegalisir menghambat jabatan seseorang untuk sesuatu kepentingan. Keempat, menimbulkan pertanyaan banyak orang, ”ada salah apa” Mayjen Suwisma sampai dibatalkannya menjadi Danjen Kopassus.

Insiden yang telah terpapar dalam kedua buku ”best seller” tadi, dengan sendirinya telah menguak aib ihwal jatidiri dan profesionalisme TNI. Terlebih bahwa pada hakikatnya, setiap prajurit memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kenaikan pangkat dan/atau jabatan berdasarkan prestasinya sesuai dengan pola karier yang berlaku dengan mempertimbangkan kepentingan TNI dan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Esensi ini telah dilanggar dengan aksi intervensi terhadap keputusan Wanjakti tadi.

Penulis masih ingat persis peristiwa menjelang Rapim ABRI, Februari 1996. Ketika itu, KSAD Jenderal (TNI) Wiranto memanggil sejumlah perwira tinggi TNI-AD. Pertemuan itu antara lain membicarakan keputusan Wanjakti mengenai rencana mutasi dan promosi jabatan tinggi di lingkungan TNI, khususnya TNI-AD.

Keputusan Wanjakti itu adalah, Jenderal Wiranto (dari KSAD menjadi Panglima ABRI), Subagyo HS (dari Wakasad menjadi KSAD), Sugiyono (menjadi Wakasad), Susilo Bambang Yudhoyono (dari Assospol Kassospol menjadi Kassospol ABRI), Prabowo Subianto (dari Danjen Kopassus menjadi Pangkostrad), SN. Suwisma (dari Pang. Divisi I Kostrad menjadi Danjen Kopassus), dan Fachrul Razi (menjadi Kasum ABRI). Ada dua nama lain yang tidak masuk dalam jajaran perwira tinggi mutasi atau promosi tetapi hadir dalam pertemuan itu adalah Sjafrie Sjamsudin dan Jacky Anwar Makarim.

Dalam kesempatan pertemuan itu, penulis ingat, sama sekali tidak ada suara keberatan dari salah satu pihak pun, terhadap hasil keputusan Wanjakti. Karenanya, menjadi topik yang sangat hangat di lingkungan TNI ketika itu, manakala Prabowo menempuh jalan pintas, menghadap Presiden Soeharto, dan menggagalkan salah satu keputusan menyangkut diri penulis, menjadi Danjen Kopassus.

Selain, praktik nepotisme yang dilakukan Prabowo, adalah tindakan tidak sportif, serta pengingkaran nyata dari jati diri sebagai seorang prajurit Sapta Marga. Lebih dari itu, isu SARA (agama) yang dijadikan dasar untuk menghambat hak seorang prajurit memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kenaikan pangkat dan/atau jabatan, adalah sebuah noda hitam yang terjadi di lingkungan ABRI (TNI) yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, di mana semua warga negara memiliki hak yang sama, tanpa memandang asal-usul daerah, agama, ras, dan golongan.

Insiden yang lama penulis pendam, kemudian terkuak secara terbuka oleh dua buku yang tersebut di atas, dengan sendirinya telah melukai warga negara bergama Hindu khususnya, dan minoritas pada umumnya. Maka, sudah sepantasnya, demi menjaga citra dan harga diri TNI, para pihak yang terkait dengan kasus tersebut, melakukan klarifikasi, serta meminta maaf secara terbuka kepada umat Hindu di Indonesia dan dunia.

Tulisan kesaksian ini, penulis susun atas dasar desakan umat Hindu di dunia, dan umat Hindu di Bali khususnya, serta orang-orang dekat, agar persoalan di atas mendapat perhatian yang semestinya. Terlebih, pasca tereksposenya kedua buku tadi, seorang tokoh agama Hindu berkata kepada penulis, ”Jangan menyesal jadi orang Hindu.”

Kata-kata yang sungguh menusuk. Bukan saja karena sekecil debu pun tidak ada penyesalan. Akan tetapi, jika lantaran kasus tadi berkembang pemikiran bahwa penulis menyesal menjadi orang Hindu, atau karena beragama Hindu maka penulis gagal menjadi Danjen Kopassus, maka tentu saja penulis akan merasa bersalah jika tidak melakukan klarifikasi atau kesaksian ini.

Selain itu, kesaksian ini perlu penulis kemukakan, bukan saja demi menjaga citra dan jati diri luhur TNI, tetapi demi menjaga stabilitas dan kerukunan umat beragama, yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Lebih dari itu semua, hal ini penulis kemukakan sebagai wujud pertanggung jawaban moral purnawirawan TNI yang tidak ingin lembaga TNI makin kehilangan kredibiltas dan jati dirinya.

Ke depan, disertai harapan, tragedi yang penimpa penulis, tidak akan pernah terjadi lagi di institusi TNI. Harapan pula, setiap prajurit TNI bisa menyatukan pikiran, ucapan, dan tata laksana dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan profesionalnya. ***

Mayjen TNI (Pur) Sang Nyoman Suwisma

Mantan Wadanjen Kopassus, mantan Kepala Staf Kostrad

Oleh: S.N. SUWISMA

PENGANTAR

sn-ok-2Berbicara tentang bisnis perantauan, siapa pun harus takjub dengan etnis Tionghoa. Berdasar catatan pertemuan pengusaha Tionghoa perantauan seluruh dunia ke-8 di Seoul, Korea Selatan Oktober 2005, jumlah pengusaha Tionghoa yang merantau di seluruh dunia tercatat 43 juta. Mereka menguasai aset atau modal senilai 2 triliun Dollar AS. Jumlah itu tentu sudah jauh berkembang hari ini.

Dalam skala lebih kecil, komunitas pendatang asal Pulau Raas, Madura di kawasan Kuta – Bali adalah contoh lain untuk melukiskan kisah sukses kaum perantau. Mereka datang bermodal tekad dan semangat. Memulai dari profesi pedagang acung, sampai akhirnya berhasil memiliki unit usaha ekspor kerajinan beromzet ratusan juta bahkan miliaran rupiah per tahun.

Beda perantau Tionghoa, beda perantau Madura, beda pula perantau Bali. Jika pada etnis Tionghoa dan Madura, merantau ibarat tradisi, tidak demikian dengan warga Bali. Alhasil, kisah-kisah sukses perantau asal Pulau Dewata, tidak segencar publikasi success story perantauan asal China, India, Madura dan Minang. Tapi bukan berarti tidak ada perantau asal Bali yang mendulang sukses. Paper ringkas ini, disertai pengharapan, mampu menggugah semangat merantau warga Bali, guna menggapai kehidupan yang lebih sejahtera.

EMPAT KUNCI SUKSES

Ada banyak jenis perantau yang kita kenal. Di antaranya, perantau karena tugas, perantau dengan kesadaran ingin mengubah nasib, perantau karena teman/saudara, dan perantau ”bonek” alias modal nekat. Namun apa pun dalih merantau, secara psikologis posisi perantau mendatangkan semangat survival yang lebih besar. Selain itu, posisi sebagai perantau juga menumbuhkan semangat solidaritas atau loyalitas antarsesama daerah yang kental.

Tidak sedikit perantau yang sukses secara ekonomi, bahkan melebihi sukses penduduk setempat. Anekdot di Bali dapat menggambarkan situasi itu…. ”Orang Malang jualan bakso untuk beli tanah di Bali, sementara orang Bali jual tanah untuk beli bakso Malang.” Paradoks semacam itu juga kita jumpai di mana-mana.

Nah, kembali ke suasana batin atau kemelekatan psikologis yang rata-rata menghinggapi kaum urban, yakni semangat survival dan solidaritas perantau sesama daerah. Patut menjadi pertanyaan adalah, apakah semangat survival dan solidaritas sesama daerah tadi mampu dikelola dengan baik sehingga bisa menunjang kesuksesan?

Sebab, jiwa survival dan solidaritas yang kuat, sesungguhnya merupakan modal dasar seorang perantau. Jika modal dasar tadi ditambah empat kunci sukses di perantauan, niscaya kans keberhasilan menjadi lebih besar. Keempat kunci sukses tersebut adalah, pertama profesional, kedua soliditas kepemimpinan, ketiga punya visi dan misi yang tepat, dan keempat efisiensi.

PROFESIONALISME

Bidang apa pun yang dikerjakan dan ditekuni oleh seorang perantau, harus dikerjakan secara profesional. Profesionalisme di sini, mengandung arti fokus kepada bidang atau fokus kepada usaha yang digeluti. Fokus, terdengar mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Yang acap terjadi adalah bias, atau tidak fokus. Sering berubah-ubah, atau mudah mengakhiri sebuah usaha dan berpindah ke usaha lain dengan serampangan. Artinya tanpa kajian dan evaluasi sebelum mengakhiri sebuah usaha, dan tanpa kajian matang pula sebelum memulai usaha baru.

Tipikal usaha yang tidak fokus, berpotensi tidak berkembang atau cenderung gagal. Kita bisa belajar dari pengalaman jutaan orang sukses, khususnya yang sudah terpublikasi dalam bentuk buku, atau terpublikasi di media massa. Cermatilah, hampir semua orang sukses tadi, menempatkan unsur profesionalisme atau fokus pada satu bidang, sebagai kunci utama keberhasilan mereka.

Fokus pada satu bidang, akan menggiring kita untuk all out. Ketika kita dipaksakan pada keadaan harus mendalami satu bidang secara intens, maka dengan sendirinya kita dituntut untuk masuk ke sendi terdalam dari usaha atau bidang yang kita geluti. Dengan begitu, wacana SWOT (strengh, weakness, opportunity, dan threat) tidak sekadar wacana, melainkan dapat diketahui secara riil.

Satu contoh bisa saya kemukakan ihwal usaha atau bisnis pertelevisian yang saya tekuni. Pertama-tama yang saya lakukan ketika ditunjuk menjadi Direktur Utama TPI adalah melakukan orientasi ke dalam. Tujuannya adalah supaya saya mengenal betul anatomi perusahaan serta bidang usahanya, lengkap dengan analisa SWOT-nya.

Fase kedua adalah menempatkan profesionalisme pada jenjang prioritas untuk mencapai sukses. Langkah-langkah yang telah saya lalui adalah mendalami tentang media massa secara umum, kemudian mengkhususkan diri ke media televisi (TPI), kemudian bergelut dengan target audiens serta materi serta run down acara yang mengalir sepanjang hari. Day by day harus diikuti dengan penuh dedikasi. Pada akhirnya, kinerja pun menjadi sangat terukur. Apalagi dalam dunia broadcast dikenal istilah rating. Acara-acara dengan rating tinggi, adalah ukuran sukses sebuah tayangan televisi.

Sejumlah acara TPI menjadi fenomena dan terbukti mampu mendongkrak reputasi. Sekadar menyebut contoh, pelopor tayangan live Formula One (F-1), juga KDI yang fonomenal. Ada lagi kontes pelawak, sinetron, seni tradisional, sampai pemberitaan. Juga tayangan yang bersifat religius dan misteri, tetapi misteri tidak memberikan pendidikan yang baik, maka berangsur-angsur dihilangkan.

Ukuran kinerja pada masing-masing bidang usaha tentu berbeda. Tetapi pada dasarnya yang membedakan adalah penamaan atau istilah. Tapi muaranya sama, yakni apresiasi masyarakat. Contoh, restoran yang berhasil adalah yang ramai dikunjungi. Acara TV yang bagus adalah yang banyak ditonton pemirsa. Eksportir yang berhasil adalah permintaan pasar asing yang meningkat. Begitu seterusnya.

Parameter-parameter keberhasilan setiap usaha tersebut di atas, sangat ditentukan pada tingkat profesionalisme pengelolanya. Sekali lagi, profesionalisme atau fokus pada bidang usaha adalah kunci penting meraih sukses.

SOLIDITAS KEPEMIMPINAN

Ada anggapan, leadership adalah bakat. Di sisi lain, pelatihan leadership marak diselenggarakan di berbagai lembaga, baik di kampus, di perkantoran swasta, perkantoran pemerintah, militer, ormas, orsospol, dan lain-lain. Artinya, kepemimpinan pada hakikatnya bukan sesuatu yang mustahil dimiliki setiap individu. Bakat, mungkin ada benarnya, tetapi menjadi pemimpin yang handal juga bisa dilatih dan dipelajari. Dengan cara apa pun Anda mendapatkannya, satu hal yang pasti, soliditas kepemimpinan adalah faktor penting kedua sebagai kunci pembuka sukses.

Ciri-ciri kepemimpinan yang menonjol adalah disegani bawahan, disegani pula oleh kompetitor. Karya kepemimpinan yang solid adalah mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Termasuk, mampu mengubah sesuatu yang kecil menjadi besar. Ibarat seorang tukang kayu yang mampu mengeksploitasi sebatang kayu menjadi bernilai tinggi. Batang kayunya menjadi ukiran, menjadi meja, menjadi kursi dan sejenisnya. Sementara kulit kayunya, serpihan-serpihan kecil, sampai serbuk gergajiannya pun bisa dimanfaatkan secara produktif.

Analogi tukang kayu tadi, menyiratkan hakikat soliditas kepemimpinan yang kuat. Di sana mengandung makna kreatif dan inovatif. Juga menyiratkan keuletan dan ketangguhan. Makna lain adalah cermat dan teliti terhadap setiap bidang yang ditanganinya. Serta yang tak kalah penting adalah kapasitas yang besar dalam melahirkan solusi-solusi atas berbagai persoalan.

Dalam menjalankan praktek kepemimpinan, seorang pemimpin harus mampu meyakinkan kepada staf dan pelaksana bawahan untuk dengan ikhlas melaksanakan perintahnya demi hasil yang maksimal.

VISI DAN MISI YANG TEPAT

Point ketiga sebagai kunci sukses bagi perantau adalah memiliki visi dan misi yang tepat. Seperti kita ketahui bersama, visi harus ideal. Seperti kata Bung Karno, ”gantungkan cita-citamu setinggi langit”, maka sebuah visi haruslah mampu melingkupi idealisme kita dalam berusaha. Visi yang kuat, kemudian dijabarkan kedalam misi-misi praktis dan taktis sehingga bisa menjadi guidance atau petunjuk acuan bagi diri pribadi maupun setiap individu yang terlibat dalam usaha tadi.

Gambaran visi dan misi di atas, adalah gambaran dalam kerangka umum. Satu hal yang tidak boleh dipisahkan dengan dua kata tadi (visi dan misi) adalah ”ketepatan”. Visi dan misi yang bagus tidak akan bisa menjadi ruh (metaksu) kalau tidak diikuti ketepatan sasaran. Bidikan visi dan misi yang tepat dapat merujuk pada dua hal yakni aktual dan adaptif.

Pengertian aktual adalah baru. Sebuah visi dan misi dapat dikatakan tepat jika mampu mengakomodir ide-ide baru. Sedangkan adaptif dapat diartikan sebagai lentur atau memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap setiap perubahan atau perkembangan peradaban.

Sebab, perubahan adalah hakikat hidup. Itu artinya, segala yang hidup maka senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam banyak hal, misalnya selera konsumen, perilaku masyarakat, kebijakan publik, perundang-undangan, globalisasi, era teknologi dan informasi, dan banyak variabel lain. Maka, sebuah usaha tanpa kemampuan mewadahi perubahan, niscaya akan terancam kelangsungannya. Sebaliknya, setiap usaha yang selalu adaptif terhadap perubahan, niscaya akan tetap survive.

Visi dan misi yang tepat sekaligus merupakan lentera pemandu jalan di tengah rimba belantara usaha yang maha luas, lengkap dengan segala problematika, baik yang positif maupun yang negatif. Tanpa visi dan misi yang tepat, ibarat memasuki hutan Amazon tanpa bekal, tanpa pemandu, dan tanpa senjata. Ilustrasi tersebut, dalam bahasa yang ekstrim adalah: menyetor nyawa sia-sia.

Sama halnya di bidang usaha, analogi itu pun bisa kita terapkan. Sekali lagi, mutlak hukumnya bagi siapa pun yang ingin sukses dalam berusaha, adalah membuat visi dan misi yang tepat. Jangan berani melangkahkan kaki ke belantara usaha tanpa bekal visi dan misi yang tepat dan kuat. Guna menciptakan visi dan misi yang tepat, diperlukan kajian yang matang dan cermat. Pelibatan konsultan (baik yang profesional maupun yang amatir) sangat direkomendasikan. Setidaknya, dapat mendatangkan input atau masukan positif. Setidaknya, dapat mendatangan second opinion.

Saya angkat kembali contoh kongkrit yang saya lakukan di TPI, yaitu melalui proses pengkajian yang matang selama kurang lebih 8 bulan, hingga akhirnya dapat tersimpulkan visi dan misi TPI. Visi TPI adalah ”Paling Indonesia Pilihan Pemirsa”. Adapun misinya adalah ”TPI Menyajikan Tayangan Bercita Rasa Indonesia yang Inspiratif untuk Memajukan Masyarakat”. Di luar visi-misi tadi, kami juga menciptakan slogan-slogan sebagai penguat. Slogan TPI yang anda kenal misalnya, ”Makin Indonesi, Makin Asyik Aja…”

EFISIENSI

Last but not least, point terpenting keempat menuju sukses usaha adalah efisiensi. Bahkan semua pakar manajemen pun sependapat, efisiensi adalah soko guru menuju survive. Dengan kata lain, semakin efisien usaha Anda, maka kans survive menjadi lebih besar. Itu berarti, pengetahuan mengenai detail usaha menjadi kunci utama untuk dapat menciptakan manajemen yang efisien.

Efisiensi selalu berkonotasi proporsional atau tidak berlebihan, atau tidak boros. Di sini ada hakikat kecermatan menyangkut kalkulasi, baik kalkulasi budget atau anggaran maupun kalkulasi waktu. Maka, jika secara budget dan waktu bisa efisien, sesungguhnya sebuah usaha berjalan sangat sehat.

Sebaliknya, ada kesalah-kaprahan sebagian pengusaha dalam mengartikan point efisiensi. Kategori ini adalah mereka yang mengartikan efisiensi sebagai penghematan atau pengetatan anggaran atau pengetatan jadwal/waktu semata. Ini adalah pemahaman yang tidak tepat. Sebab pada hakikatnya, efisiensi memang bisa mengakibatkan penghematan baik dari sisi anggaran maupun waktu, tetapi itu tidak punya arti jika tujuan atau target tidak tercapai. Nah, dengan tidak tercapainya tujuan atau target, justru bisa mengakibatkan in-efisiensi atau pemborosan.

Kata kunci yang selalu melekat dengan efisiensi adalah efektivitas. Dalam bahasa Indonesia yang lain, sering kita dengar istilah sangkil (efisien) dan mangkus (efektif). Efektif harus menjadi parameter utama dalam mengukur tingkat efisiensi yang hendak dicapai. Karena itu, efisiensi yang baik adalah efisien sekaligus efektif.

Efektif lebih berorientasi pada ketepatan mencapai tujuan, sasaran, atau target. Karenanya, bobot efisiensi idealnya ditempatkan sebagai supporting butir efektifitas. Dengan kata lain, bagaimana sebuah usaha dapat efektif mencapai sasaran, dan dilaksanakan secara efisien. Ini kunci penting.

FAKTOR PENDUKUNG

Hal-hal di atas, adalah empat point penting sebagai pegangan bagi siapa pun yang ingin sukses berusaha. Sifat paparan di atas, tentunya relatif bersifat general. Sebab, kunci-kunci tadi pada umumnya juga dipelajari oleh semua praktisi usaha. Penentu keberhasilan juga bisa ditunjang oleh faktor-faktor pendukung.

Seperti disinggung di awal tulisan, bahwa sebagai perantau ada jiwa survival dan dukungan solidaritas sesama daerah asal yang kuat. Kedua hal ini termasuk faktor pendukung, karenanya harus dijaga, bahkan dikembangkan.

Jiwa pantang menyerah harus diwujudkan dalam kaitan etos kerja yang tinggi. Secara mudah bisa kita contohkan, seseorang yang memanfaatkan waktunya 12 jam sehari untuk bekerja, hasilnya akan lebih baik dari seseorang yang bekerja 8 jam sehari. Anda boleh saja mengatakan relatif, tetapi kalkulasi numerik tadi lebih mendekati kepastian. Ambil saja contoh-contoh di sekitar Anda. Nah, untuk dapat memanfaatkan waktu bekerja di atas jam rata-rata, dibutuhkan mentalitas dan semangat tinggi. Dalam hal ini, pendatang umumnya lebih unggul.

Hal lain adalah solidaritas sesama pendatang, apalagi satu daerah. Hal ini harus disikapi secara profesional (kunci sukses pertama). Artinya, solidaritas tadi harus ditempatkan dalam konteks networking atau jaringan kerja atau jaringan usaha, bukan sekadar ajang berkangen-kangenan…..

Dalam konteks networking tadi, juga dikenal istilah relasi. Memanfaatkan jaringan relasi sangat penting guna menunjang sukses. Seperti pepatah mengatakan, ”Mudah mencari musuh seribu, tetapi sulit mencari satu kawan sejati”. Pepatah ini mengharuskan kita senantiasa membina relationship dengan berbagai kalangan. Yang positif dibina dan dikembangkan supaya menjadi potensi usaha, sedangkan yang negatif dijadikan ajang bercermin agar kita menjadi makin arif dan bijaksana.

Faktor pendukung lain yang tak kalah penting adalah kemauan untuk mengasah kemampuan secara terus-menerus. Jangan pernah merasa mampu, jadilah pengusaha yang senantiasa haus untuk mengasah kemampuan. Sebab, seperti disinggung di atas, roda zaman senantiasa berputar ke depan. Karenanya, jika kita berhenti di satu titik, maka yang lain pasti akan mendahului, bahkan menggilas usaha kita.

Terakhir, nasib! Atau peruntungan. Orang Inggris bilang luck. Rekan Tionghoa kita bilang hoki. Baiklah saya kutip konsep keberuntungan manusia menurut mitologi Cina kuno (feng shui):

1. Keberuntungan langit (Takdir), tidak dapat dikendalikan

2. Keberuntungan manusia (Nasib), dapat dikendalikan

3. Keberuntungan bumi (Feng shui ), dapat dikendalikan

Terhadap masalah ini, believe it or not, menyangkut kepercayaan. Akan tetapi, untuk sekadar mengetahui, tidak ada salahnya, Selanjutnya, terserah Anda…..

Bali, 14 Februari 2008

keluarga-terbaruSETELAH tidak bekerja di Telkom, Kentjana merasa tidak lagi dikejar-kejar waktu. Dia bisa lebih mencurahkan waktu untuk anak-anak dan suami. Dia merasa leluasa mendampingi suami ketika menjadi Pangdam di Kalimantan dan di mana pun suaminya, Sang Nyoman Suwisma ditempatkan. Namun, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan, sosial maupun bisnis.

Misalnya, dalam kegiatan bisnis. Kegiatan itu telah lama dite-kuninya, namun hanya dalam skala kecil dan terbatas di lingkungan kantor tempatnya bekerja. “Dulu saya juga suka jualan di kantor. Macam-macam barang saya bawa, kompor, seprei sampai kain batik. Yang membeli teman-teman, dengan mengangsur. Pak Wis tidak tahu. Kalau tahu pasti saya ditegur. Jadi, mobil saya itu, dulu, selain penuh perlengkapan saya dan pekerjaan kantor, juga berisi barang dagangan,” tutur Ny Ken sembari tertawa.

Menurutnya, apa yang ia lakukan juga merupakan persiapan masa de-pan, ketika ia maupun suami pensiun. “Saya memang harus bisa mengelola yang kami miliki untuk masa depan. Karenannya, saya membangun berbagai bisnis, meski dalam skala kecil, seperti home industry dan rumah kontrakan,” tambahnya.

Ketika ia membeli tanah kemudian dibangun rumah kontrakan, atau saat membangun kebun kelapa sawit, Pak Wis baru tahu setelah usaha-usaha tersebut berjalan baik. Apa yang ia lakukan itu, dirasakan Ny Ken sangat bermanfaat, khususnya setelah ia pensiun dini dari Telkom. Setelah pensiun ia punya banyak waktu untuk mengembangkan talentanya itu, termasuk berbisnis kue dan roti. “Penghasilan suami cukup, saya juga menerima uang pensiun. Kegiatan ini selain saya sukai, juga untuk mengisi waktu luang. Lebih dari itu lewat kegiatan ini saya bisa membantu memberdayakan orang-orang di lingkungan saya yang tidak bekerja,” tutur mantan Manajer Pembangunan PT Telkom ini.

Suaminya tidak pernah melarang Ny Ken mengikuti berbagai kegiatan, sepanjang masih sebatas kewajaran. “Contoh, saya terima undangan reuni dengan teman-teman Trisaskti. Beliau mengizinkan. “Silakan, asal handphone dibuka,” pesan Pak Wis. Maksudnya supaya saya mudah dihubungi. Hal itu juga berlaku dalam kegiatan lain. Karenannya, saya tak henti-hentinya bersyukur dikaruniai suami yang penuh pengertian dan bijaksana seperti beliau,” tuturnya.

Bapak Dibela Anak

Selama 27 tahun berumah tangga, tutur Ny Ken, nyaris tak ada masalah berarti dalam keluarganya. Suwisma, di mata Ny Ken, sosok penyabar. Malah, dulu dirinyalah yang kadang bikin gara-gara, misalnya, kesal pada suami atau ngambek karena sesuatu hal. Menanggapi hal tersebut, biasanya, suaminya tak banyak berkomentar. “Awalnya saya merasa kekesalan saya kurang ditanggapi. Tetapi kemudian saya introspeksi, mengapa harus ribut-ribut, toh tak akan menyelesaikan masalah. Akhirnya saya merasa karakter suami terbawa juga dalam diri saya, lebih tenang dalam menyikapi persoalan,” ujar Ny Ken.

Dulu, kalau ia marah pada suami, justru anak-anaknya yang protes. “Mereka bilang saya keterlaluan. ’Ibu terlalu, Bapak sudah begitu baik, kok Ibu begitu,’ kata anak saya. Karena saya sedang marah, anak bilang begitu, merekalah yang saya marahi. ’Kamu kok malah bela Bapak!’ Eh, anak saya bilang, ’Ibu diingatkan anak kok begitu’. Begitulah anak-anak saya , rata-rata ikut pembawaan bapaknya”.

Perihal cemburu, menurut peng-akuan Ny Ken, jauh dari kehidupan rumah tangganya. “Masa pacaran 11 tahun sudah cukup untuk saling memahami pribadi masing-masing, Saya maupun Pak Wis, bukan tipe pencemburu. Untuk apa cemburu., menghabiskan energi. Yang utama adalah kepercayaan. Semua kembali pada kita. Apa pun yang kita perbuat, pertanggungjawabannya kepada Tuhan. Tuhan Maha Tahu,” tuturnya.

Oleh karena lebih banyak waktu bersama anak-anak ketimbang suami, otomatis tanggung jawab mendidik dan membina anak sebagian besar berada di pundaknya. Namun Ny Ken mengaku tidak menghadapi kesulitan mengasuh ketiga putranya, SN Wikrama, SN Wiranggana, dan SN Wiratama. “Kebetulan ibu saya (Ny Rataya Puspawathy) ikut membantu menjaga anak-anak ketika saya bekerja. Sesekali anak-anak rewel minta saya menemaninya, tetapi itu jarang terjadi. Saya, meski sibuk bekerja, berusaha menyempatkan waktu menemani mereka. Misalnya, saat jam istirahat makan siang, saya pulang untuk makan bersama mereka, atau mengantar mereka ke sekolah atau meminta mereka datang ke kantor saya. Anak-anak saya beri pemahaman bahwa orangtuanya sibuk bekerja untuk mereka, dan mereka, meski saat itu masih kanak-kanak, sepertinya mengerti sehingga jarang rewel,” papar Ny Ken.

Ny Ken mengungkapkan rasa syukurnya ketiga anaknya bisa tum-buh dan berkembang dengan baik. Yang membanggakan, masing-masing memiliki prestasi di bidangnya. “Anak pertama dan kedua tergolong kutu buku. Lebih suka di rumah, belajar. Makanya mereka selalu berprestasi bagus di sekolah. Anak ketiga, lebih menonjol di bidang keseniaan. Kami sebagai orangtua, selalu mendukung apa pun keinginan anak untuk kemajuannya. Namun, kami juga memberi pengarahan jika ada ke-inginannya yang kurang cocok untuk dirinya,” tutur sosok perempuan yang kini aktif sebagai pengurus Yayasan Kanker Payudara Jakarta ini.

Bicara tentang anak-anak, teringat Ny Ken ketika anak bungsunya, Wiratama masih di SMA yang tanpa sepengetahuannya mengikuti tes Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. “Dia tes sampai akhirnya lolos menjadi wakil DKI Jakarta. Dia terpaksa meninggalkan sekolah tiga bulan untuk latihan. Sebagai orangtua saya ikut membantu, misalnya, mencatatatkan pelajaran sekolahnya agar dia tidak ketinggalan pelajaran. Dia berada di karantina, hanya Sabtu kami bertemu. Saya sampai naik sepeda motor untuk bisa melihat anak, karena kangen,” ungkapnya. Sebagai orangtua, hati Ny Ken bangga ternyata anaknya mampu mengikuti semua proses pelatihan sampai akhirnya bisa tampil dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusakan pada upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus.

Hal lain yang juga menyentaknya adalah ketika anak bungsunya terjun ke dunia akting. Sempat tampil di sejumlah sinetron, sebelum akhirnya aktivitas di dunia akting itu terhenti karena Wiratama diterima di Akademi Kepolisian Semarang. (Tokoh)

suwisma-kenAKHIRNYA, setelah berpacarana selama 11 tahun Kentjanawathy dan Sang Nyoman Suwisma menikah di Bali 16 Mei 1980. Dari pernikahan tersebut lahir tiga putra, Sang Ngurah Wikrama Wirapatih —lulus Akabri 2002 sekarang Lettu Infantri dinas di Kopassus Grup I Serang, Jawa Barat. Sebelumnya, begitu lulus Wikrama sempat menjadi Dan-ramil di perbatasan Irian Jaya. Putra kedua, Sang Ngurah Wiranggana Adityapatih—Sarjana Elektro Universitas Trisakti. Putra ketiga, Sang Ngurah Wiratama Satriapatih, sempat berkiprah di dunia akting sebagai pemain sinetron namun kemudian memutuskan masuk Akademi Kepolisian di Semarang.

Ny Ken menuturkan bagaimana perjuangannya mengelola waktu agar bisa dengan baik menjalankan tri fungsi sebagai istri, ibu dari tiga anak, dan mengembangkan karier di Telkom.

Sebagai istri tentara, Kentjanawathy paham betul suaminya tidak bisa selalu mendampinginya. Kebanyakan waktunya dihabiskan di medan tugas. Ia memakluminya karena dia berasal dari keuarga tentara. Ayahnya kerap bertugas di daerah operasi cukup lama meninggalkan ibu dan keluarganya. “Itu sudah risiko, jadi biasa saja,” katanya.

Meski begitu, sebagai istri, wajar jika ia menginginkan suaminya mendampingi ketika akan melahirkan. Ketika hamil, ia berjalan sendiri ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilannya. Bahkan sampai melahirkan pun demikian. “Waktu melahirkan anak pertama, sempat ditunggui suami sebentar, tetapi ketika melahirkan anak kedua dan ketiga, suami tidak menunggui. Bahkan sejak hamil anak ketiga satu bulan sampai anak itu lahir, Pak Wis tak ada di rumah. Saat Pak Wis pulang, anak-nya sudah empat bulan,” paparnya.

Kentjanawathy tidak hanya sibuk mengurus rumah tangga, tetapi juga padat aktivitas di Telkom. Ada satu kesepakatan sebelum mereka menikah, yakni segala biaya kehidupan rumah tangga berasal dari suami. “Ini komitmen kami. Sebelum menikah, saya katakan, cukup atau tidak, saya hidup dari dia. Meski saya punya fasilitas dari Telkom, saya tidak memakainya. Saya hanya memanfaatkan fasilitas sebagai istri tentara. Misalnya ketika melahirkan, saya pergi ke rumah sakit Kodam. Fasilitas Telkom yang lain, juga tidak pernah saya pakai. Ini salah satu bentuk penghargaan saya kepada suami,” tuturnya.

Mengelola Waktu

Dalam mengelola waktunya, Ken menyatakan tidak mudah; harus pintar membagi waktu agar semuanya berjalan lancar. Hal itu berhasil dilakukannya dengan baik sampai ia sempat menduduki jabatan Manajer Pembangunan Telkom.

Pernah pada suatu ketika Suwisma bertugas di Solo, Kentjanawathy bertugas di Bandung, sedangkan anak-anaknya berada di Jakarta. “Saya menyiasatinya. Minggu ini saya cuti dua hari mendampingi suami di Solo, minggu berikutnya saya ke Jakarta bertemu anak-anak. Atasan saya di kantor memahami kondisi saya sehingga saya diizinkan menemui suami dan anak-anak. Tetapi saya tahu diri. Kalau memang ada rencana pergi, pagi-pagi sekali saya sudah di kantor mengerjakan pekerjaan-pekerjaan saya,” paparnya.

Pernah pula pada kesempatan yang lain, ketika ia tengah menjalani pendi-dikan prajabatan di Bandung, seorang anaknya yang akan berulang tahun minta ia ada di sisinya saat meniup lilin. “Akhirnya saya dan teman sekamar atur siasat agar bisa berangkat ke Jakarta malam hari. Sebenarnya tidak boleh meninggalkan tempat pendidikan, tetapi saya mengendap-endap keluar. Bantal saya tutup selimut, jadi kelihatannya saya tidur. Saya bilang teman, pukul 05.30 saat senam pagi, saya sudah di Bandung lagi. Tiba di Jakarta pukul 24.00. Habis mandi, pukul 02.00 saya bangunkan anak saya untuk meniup lilin. Setelah menyanyi dan bercengke-rama sejenak dengan anak-anak, pukul 03.00 saya berangkat kembali ke Bandung tiba tepat pukul 05.30 dan ikut acara senam sambil terngantuk-ngantuk…,” ungkapnya.

Kentjanawathy juga mengaku banyak dibantu ibunya, Ny Rataya Puspawathy, dalam menjaga ketiga putranya saat dia bekerja atau mengikuti suami. Namun, yang namanya anak-anak, kadang datang juga keinginannya didampingi ibunya saat makan atau ke sekolah. “Kalau anak lagi rewel minta diantar ke sekolah, saya harus mengantar hingga masuk kelas. Habis itu, saya berangkat kerja. Sampai-sampai saya pernah melompat pagar agar tidak telat ikut rapat di kantor. Tak jarang saya merias wajah atau sarapan di jalan, saat lalu-lintas sedang macet. Pernah lho, karena terburu-buru saya pakai alis mata hanya sebelah. Pernah juga rambut masih dijepit–jepit belum sisiran. Kalau anak rewel minta ditemani makan siang, saya juga harus pulang untuk menemaninya makan siang. Setelah itu saya kembali ke kantor,” paparnya.

Ia menuturkan pengalaman paling menyita waktu ketika suaminya bertugas di Lampung sebagai Danrem Garuda Hitam. Ketika ada acara-acara di Lampung yang memerlukan kehadirannya, dia pun menyiasatinya. Hanya saja kali ini agak berbeda, karena Lampung cukup jauh dari Jakarta. “Bukan hanya sekali saya berangkat naik pesawat, pulangnya lewat jalan darat terus naik kapal motor Baruna, karena saya harus pulang ke Jakarta malam itu juga. Pernah, gelombang cukup tinggi bahkan air laut sampai masuk dek kapal. Sampai di Jakarta sudah pagi, saya langsung masuk kantor. Kalau masih ada waktu, saya ke rumah bertemu anak-anak lalu ke kantor,” ujarnya seraya menambahkan suaminya sempat 17 bulan menjadi Danrem di Lampung.

suwisma_ryamizardSejak Suwisma menjadi Danrem di Lampung, mobilitas Kentjana menjadi sangat tinggi. Dia kerap harus bolak balik Lampung-Jakarta dalam satu hari. Mungkin pada masa-masa itulah Kentjana luar biasa sibuk. Sekuat-kuatnya fisik seseorang, semampu-mampunya dia mengelola waktu, tetap saja keteteran manakala frekuensi kegiatan menjadi sangat tinggi.

“Ketika kami dapat kabar jabatan Danrem Pak Wis akan diperpanjang sampai pemilu berikutnya, wah, saya bener-benar menyerah. Saya tidak sanggup lagi. Mengurus anak, mengikuti kegiatan organisasi, dan bekerja di kantor. Kebetulan saat itu Telkom sedang banyak proyek. Saya tahu diri, tak mungkin saya terus-menerus minta bantuan teman meski mereka cukup memaklumi kesibukan saya. Akhirnya saya memilih mengundurkan diri dari Telkom. Saya mengajukan pensiun dini Desember 1996,” tuturnya.

Tak lama setelah Ny Ken mengundurkan diri, muncul surat keputusan penugasan Suwisma ke Bandung sebagai Komandan Secapa. “Ada rasa gembira, tetapi ada juga penyesalan, karena Kantor Telkom di Bandung hanya 10 menit perjalanan dari rumah dinas Pak Wis. Tetapi Pak Wis mengingatkan saya, agar tidak menyesali apa yang telah terjadi. Semua ini sudah diatur Yang di Atas. Kalau saya tidak mengajukan pensiun dini, seloroh Pak Wis, mungkin ia masih tetap bertugas di Lampung,” katanya. (Tokoh)

pengantinMASA pacaran Kentjanawathy dan Sang Nyoman Suwisma relatif lama, 11 tahun, tahun 1969 hingga 1980. “Kami sama-sama sibuk. Saya sibuk kuliah dan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian. Setelah lulus kemudian saya bekerja. Kami sibuk meniti karier masing-masing. Pak Wis sibuk bertugas, berpindah-pindah,” ungkap Kentjanawathy tentang lamanya mereka berpacaran. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah, setelah ditegur Komandan Jenderal RPKAD, Sarwo Edhi Wibowo.

Mereka pun relatif jarang bertemu. Kentjana berda di Jakarta saat di SMA maupun saat kuliah di Fakultas Teknik Universitas Trisakti. Setelah lulus Akabri, Suwisma kerap mendapat tugas berpindah-pindah. Bertemunya saat Pak Wis bebas tugas, biasanya Sabtu atau Minggu. Jika dia lagi menjalankan tugas operasi atau semacamnya, bisa sampai berbulan-bulan kami tidak bertemu,” tambahnya.

Jika sedang bertemu, yang mereka lakukan hanya saling menatap. Lalu masing-masing bercerita tentang kegiatannya. “Jangankan berpelukan, saling memegang tangan saja terasa tabu saat itu. Kalau sekadar berpegangan tangan, ya mencuri-curi kesempatan,” ujar Kentjanawathy sambil bertawa.

Ia mengungkapkan, orangtuanya ketat sekali mengawasinya. Saat jalan bareng atau menonton film, tidak bisa hanya berdua, harus beramai-ramai. “Kalau ada teman pria bermain ke rumah saya, pukul 21.00 belum pulang, Ibu tanpa basa-basi akan mengangkat gelas tamu itu. Kalau belum pulang juga, Ibu menutup gorden. Masih belum pulang juga, lampu dimatikan. Kalau sudah begini, mau tidak mau, si tamu pulang… ha… ha…,” kenangnya.

Namun, perlakuan mereka pada Suwisma berbeda. Suwisma tidak pernah mengalami kejadian tutup gorden atau mati lampu seperti teman-teman pria Kentjana lainnya.

Menjelang pernikahan pun ibunya tidak mengizinkan Kentjana dan Suwisma berduaan saja saat pergi jauh. Sebagaimana lazimnya tentara, Suwisma harus melaporkan rencana penikahannya pada atasannya di Solo. Ketika itu Suwisma memang tengah bertugas di Kota Bengawan.

Untuk pergi melapor, Suwisma mengajak Kentjana, calon istrinya. Ibunya tidak mengizinkan mereka pergi berdua saja. Akhirnya ibunya bersama seorang tetangga dekat mendampingi perjalanan mereka bolak-balik Jakarta-Solo-Jakarta.

“Di kereta maupun di mobil, kami tidak boleh duduk berduaan. Saya duduk dekat Ibu, tetangga kami duduk dekat calon suami saya,” ucap Ny Ken, mengenang.

Suatu ketika Suwisma yang baru datang setelah sembilan bulan ikut latihan Komando di Batujajar, menemui Kentjana yang tengah kritis akibat virus tifus yang menyerangnya. Betapa sedih hati Suwisma menatap Kentjana yang biasanya energik dan aktif, kini kurus dan terbaring lemah.

Tanpa mempedulikan fisiknya yang juga lelah karena usai mengikuti pelatihan komando yang berat, dengan setia Suwisma menunggui Kentjana. Mungkin karena terlalu capai, ia jatuh tertidur. Suwisma yang terlelap tak tahu kalau Kentjana terjatuh dari tempat tidur. “Waduh… saat itu Ibu marah sekali pada Pak Wis. Dimarahi Ibu, Pak Wis tidak bisa bilang apa-apa, kecuali minta maaf. Yah… maklum Ibu kan tidak tahu kalau Pak Wis sedang dalam kondisi sangat capek. Ibu hanya tahu, anaknya yang tengah sakit, jatuh dari tempat tidur,” ungkap Kentjana.

keluarga-mudaTerlalu asyik dengan kegiatan masing-masing tak terasa pacaran mereka memasuki usia 11 tahun. “Pak Wis kalau bertugas di daerah operasi seperti di Aceh, Timor Timur, Irian Jaya, bisa berbulan-bulan bahkan setahun,” ujar Kentjana.

Selain aktif mengikuti kegiatan olah raga, seperti pernah menjadi atlet di Pekan Olah Raga Mahasiswa, Kentjana juga aktif menari. Pada masa itu, Kentjana kerap menari di Istana Presiden atau dikirim mengikuti misi kebudayaan ke mancanegara di antaranya ke Filipina dan Jepang.

Meski jarang bertemu, lanjut Ny Ken, tidak mengurangi cinta mereka. Mereka mampu menjaga perasaan cintanya agar tetap kokoh.

Lain Kentjana dan Suwisma, lain pula perasaan orang-orang dekatnya. Orangtua mereka maupun sosok yang pertama kali mengenalkan Kentjanawathy dengan Suwisma, Sarwo Edhi Wibowo, selalu memantau perkembangan jalinan kasih keduanya. Mereka kerap bertanya, kenapa belum segera menikah. Jika ditanya begini, berbagai alasan dikemukakan keduanya. Sampai akhirnya Komandan Jenderal RPKAD itu menegur keduanya, “Mau main-main atau bagaimana?”

Teguran itu membuat keduanya tersentak hatinya. “Saya jadi mikir, bener juga ya. Hal ini kemudian saya bicarakan dengan Pak Wis, akhirnya kita memutuskan untuk menikah. Kami pun mencari tanggal dan hari baik yang disesuaikan dengan adat Bali. Ternyata Pak Sarwo juga melakukan hal yang sama. Beliau mencari hari baik sesuai hitungan Jawa. Ternyata, hasil hitungan Jawa yang didapat Pak Sarwo, sama persis dengan hitungan Bali. Kami menikah tahun 1980,” jelasnya. (Tokoh)

menari-di-istanaMeski kegiatan sehari-harinya terjadwal ketat, bukan berarti tidak ada waktu bermain bagi Kentjanawathy semasa bocah maupun semasa remaja. Salah satu teman bermainnya adalah Kristiani Herrawati, atau akrab disapa Ani, yang kini menjadi istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia adalah anak ketiga Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, mantan Komandan Jenderal Resimen Para Komando Angkatan Darat – RPKAD (sekarang Kopassus) dan Gubernur Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Keluarga Kentjanawathy dan keluarga Sarwo Edhi tinggal bertetangga dekat di Jalan Flamboyan, Kompleks Perumahan Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur. ”Waktu kecil kami biasanya main perang-perangan atau gobak sodor dengan Bu Ani dan saudara-saudaranya, seperti Mbak Wiwi dan Tuti,” ungkap Ny. Ken, sapaan akrab Kentjanawathy.

Oleh karena bertetangga dekat, dan kebetulan ayah Kentjana bertugas di Akabri, lembaga tempat Jenderal Sarwo Edhi Wibowo menjadi gubernurnya, maka hubungan keluarga mereka menjadi sangat erat.

Suatu ketika, Kentjana, Ani dan saudara-saudaranya yang lain, berlibur ke kampus Akabri di Magelang. Tak disangka Kentjana, di “kawah Candradimuka-nya calon pewira TNI” itulah ia bertemu jodoh abadinya, Sang Nyoman Suwisma.

”Saya sungguh tak mengira. Ketika itu kami masih remaja, saya masih SMA kelas 2. Sampai di sana ternyata Pak Sarwo mengenalkan kami dengan taruna-taruna Akabri. Saya dikenalkan dengan Pak Wis yang waktu itu masih tingkat 2. Sedangkan Ani dikenalkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, dan Tuti dikenalkan dengan Mas Adi.

Pak Sarwo saat itu berkata, ’sini, saya kenalkan sama orang Bali’. Lalu saya dipertemukan dengan Pak Wis,” tutur penyuka olahraga tenis, voli, dan renang, ini. Waktu pertama kali bertemu, terus terang, papar Ny Ken, belum ada perasaan macam-macam; biasa saja. ”Saya cuek aja, Pak Wis tampaknya juga begitu. Nggak ada pikiran macam-macam,” katanya.

Ketika itu Kentjanawathy muda memang belum menyadari maksud Sarwo Edhi mengenalkannya pada Suwisma. Baru kemudian diketahui, rupanya Sarwo Edhi ingin ’menjodohkan’-nya dengan pemuda yang juga berasal dari Bali ini.

Suatu hari Ani bersaudara dan Kentjanawathy kembali mendapat kesempatan berlibur ke Lembah Tidar, Magelang, Markas Akabri. ”Kami pergi ramai-ramai naik mobil yang telah disiapkan Pak Sarwo,” kenang Ny. Ken. Sampai di sana, lagi-lagi dia bertemu Suwisma. Seperti pertemuan sebelumnya, yang memang belum ada apa-apanya, kali ini pun masih berlangsung biasa-biasa saja. Keduanya belum menunjukkan ketertarikan lebih, selain hanya sebatas kawan. ”Kami disuruh Bu Sarwo (Ny Sunarti Sri Hadiyah) untuk menonton film di bioskop, tentunya dikawal para taruna itu, termasuk Pak Wis.

Memang saat itu belum ada pikiran untuk pacaran, jadi boro-boro ingin duduk berdampingan dengan Pak Wis, dia di mana, saya di mana, masing-masing cuek saja. Saya sibuk dengan Ani dan saudara-saudaranya, sedangkan Pak Wis entah dengan siapa,” tutur Ny Ken.

Sepulang dari kunjungan ke Magelang itu mobil rombongan mereka sempat mengalami kecelakaan. ”Mobil kami slip, sampai muter 180 derajat. Bukannya ketakutan, kami malah tertawa-tawa. Yah, begitulah anak-anak muda, dalam keadaan begitu masih sempat-sempatnya becanda, saling menggoda,” ujarnya.

Isi Surat Pertama

Rupanya usaha Sarwo Edhi untuk menjodohkan Kencanawathy dan Suwisma terus berlanjut. Tiap kali Sarwo Edhi akan pulang ke Jakarta, ajudannya diutus pergi ke barak taruna untuk menemui Suwisma. ”Cerita Pak Wis, ajudan Pak Sarwo, Bejo, tiap Pak Sarwo akan pergi ke Jakarta, pasti datang ke barak menemuinya. Ajudan itu mengabarkan, ’Gubernur akan ke Jakarta. Prajurit taruna Suwisma diminta menulis surat’,” ungkap Ny. Ken. Oleh karena perintah Gubernur, Suwisma patuh. Dia lalu menulis surat untuk Kentjanawathy. ”Isi surat pertama hanya tentang hal-hal ringan, seperti bercerita tentang kegiatannya, juga menanyakan kabar dan aktivitas saya,” ujarnya sambil menambahkan, surat pertama Pak Wis tak ada rangkaian kata-kata rayuan dan semacamnya. ”Isinya biasa-biasa saja,” katanya.

Saat-saat itu memang hanya surat yang bisa dijadikan media komunikasi. Meski telepon telah ada, fasilitas itu belum masuk secara luas ke perumahan. Kalaupun ada hanya terbatas di rumah orang-orang tertentu. ”Kertas suratnya berwarna warni, ada kuning, merah muda, hijau. Awalnya, kalau dapat surat dari Magelang, kami baca beramai-ramai dengan teman-teman sambil tertawa cekikikan saling menggoda,” ungkapnya lagi. Seperti halnya terhadap Suwisma, terhadap Kentjanawathy pun Sarwo Edhi melakukan hal yang sama. Jika akan kembali ke Magelang, Kentjana diminta membuat surat balasan. Hal itu terjadi berulang-ulang, sampai akhirnya keduanya bersurat-suratan sendiri tanpa perintah siapa pun. Mengingat kerapnya mereka bersurat-suratan, hubungan mereka tanpa disadari menjadi makin dekat. Surat-suratan pun makin sering dilakukan.

Dari isi surat-surat itu, mereka jadi lebih memahami pribadi masing-masing dan merasa ada kecocokan. Perlahan tapi pasti, perasaan mereka pun berkembang, bukan sekadar teman biasa. Bibit-bibit cinta tumbuh di hati keduanya. ”Dia itu orangnya sangat sabar, ngemong dan penuh pengertian,” ungkap Ny. Ken tentang penyebab yang membuatnya jatuh cinta pada Suwisma. Hubungan kasih keduanya ini ternyata juga mendapat restu dari keluarga masing-masing. Bahkan ayah Kencana, Rangga Bonjoran, yang dikenal tegas dan keras, juga ibunya, Rataya Puspawathy, yang sangat disiplin, juga sangat mendukung hubungan keduanya. (Tokoh)

belum_menikah__19691SEBELAS tahun berpacaran bukan waktu yang sebentar. Tak mengherankan jika ayahnya, Brigjen TNI Drs. Rangga Bonjoran Bayupati, AKK, yang sempat resah, menegurnya. Bahkan yang menegur bukan hanya ayahnya, tetapi juga Jenderal Sarwo Edhi. “Saking lamanya berpacaran, kata mereka, ‘ini anak mau main-main apa beneran’. Saya renungkan, benar juga teguran itu. Maka, kami lalu sepakat untuk segera menikah,” ungkap Rataya Bayu Kentjanawathy kepada Koran Tokoh.

Ken, begitu panggilan akrabnya, yang ditemui di kediamannya di Cijantung, Jakarta Timur, bercerita tentang lika-liku cintanya dengan Mayjen TNI (Pur) Sang Nyoman Suwisma hingga akhirnya menikah 16 Mei 1980 di Bali. Ny. Ken juga menuturkan biduk rumah tangganya yang ternyata sarat kisah menarik, khususnya bagaimana ia membagi waktu antara suami, anak, dan kariernya di sebuah perusahaan telekomunikasi. Di sisi lain, ia merupakan pegawai di sebuah perusahaan negara yang tak mungkin meminta pindah semaunya mengikuti lokasi tugas suami. Suatu hal yang dibayangkan sulit dilakukan, ternyata mampu dijalankan Ny. Ken dengan baik. “Semua ini bisa berjalan lancar berkat dukungan suami. Tanpa dukungan suami, saya rasa tak mungkin bisa begini,” katanya.

Pernah suatu ketika, Ny. Ken berada di Bandung, suami bertugas di Solo, dan anak-anak berada di Jakarta. Saat itu seorang anaknya berulang tahun, dan dia menolak meniup lilin kalau ibunya tak ada di sampingnya. ”Terpaksa tengah malam saya bertolak ke Jakarta. Setelah meniup lilin dan bercengkerama sejenak dengan anak-anak, berangkat lagi ke Bandung dan tiba pukul 06.00, langsung berangkat ikut senam pagi di kantor,” ujarnya.

Kisah lain, suatu ketika Ny. Ken harus menghadiri sebuah acara di Serang, Jawa Barat, tempat suaminya bertugas. Sementara di kantornya di Jakarta dia memiliki setumpuk tugas yang harus diselesaikan. Yang dilakukannya adalah, pagi buta ia ke kantor menyelesaikan sebagian tugas, setelah itu langsung melesat ke Serang, yang jaraknya sekitar 2 jam perjalanan dari Jakarta. Ia mengendarai sendiri mobilnya, tanpa sopir.

“Pak Wis (panggilan Ny Ken kepada suaminya—red), tidak memberi saya sopir, kecuali saya sudah tidak mampu lagi,” kenang Ny Ken yang juga Ketua Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Pusat ini.

Selesai acara di Serang, ia kembali meluncur ke Jakarta untuk membereskan pekerjaannya. Nah, setelah itu, kembali lagi ke Serang untuk meng-ikuti rangkaian acara suami selanjutnya. ”Aduh, melelahkan. Sekuat-kuatnya tubuh manusia tentu ada batasnya,” ujarnya. Sampai-sampai ia tak mampu lagi mengemudikan mobil. Kakinya terasa pegal dan kaku. ”Saya terpaksa berhenti di jalan. Saya telepon Pak Wis, minta dikirimi sopir. Saya nggak sanggup nyetir lagi,” ungkapnya.

pasangan-mudaKisah semasa kecil

Percakapan pun sampai ke saat Ny Ken mengilas balik masa kecilnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagaimana umumnya anak keluarga tentara, tempat tinggal Ratu Agung Ayu Agung (Rataya) Bayu Kentjanawathy kecil sempat berpindah-pindah mengikuti lokasi tugas ayahnya. Ia dilahirkan di Makassar 20 Oktober 1952, ketika ayahnya tengah bertugas sebagai Wakil Komandan Batalyon (Wadanyon) di kota itu dalam rangka penumpasan gerakan separatis di sana. Setelah itu sempat pindah ke Ambon, kemudian kembali lagi ke Makassar. Masa balitanya dilalui di kita “Anging Mamiri” sebelum akhirnya mereka sekeluarga bertolak ke Bali, mengikuti tempat tugas baru ayahnya di Kodam Udayana.

”Kami berlima, orangtua, dua adik dan saya, boyongan ke Bali,” ungkap anak sulung dari lima bersaudara ini. Di Bali, mereka bertempat tinggal di sebuah losmen di belakang Bali Hotel, Denpasar, sebelum mendapat rumah tinggal tetap. Hanya beberapa tahun mereka di Bali, namun Ken kecil sempat mengecap pendidikan di TK Kuntum Widjaya Kusuma, di Jalan Melati.

Kembali Ken kecil harus mengikuti keluarganya pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat tugas baru di Ibu Kota. Yang tak terlupakan, tutur Ny Ken, ketika boyongan ke Jakarta tahun 1959 ia dan keluarganya naik truk. Menempuh jalur darat mereka memerlukan waktu seminggu. ”Truk dipasangi terpal untuk berteduh. Semua barang bersama kami, Ibu dan tiga adik, di belakang, Ayah di depan bersama pengawal dan sopir. Di dalam bak truk belakang juga ada kompor, jadi kalau masak ya di atas truk itu. Dulu, kan langka warung-warung makan di pinggir jalan. Kami berhenti hanya kalau mau mandi dan untuk memenuhi kebutuhan lain. Selebihnya, truk terus melaju. Waktu itu lagi heboh-hebohnya gerombolan DI/TII, makanya kami menghindari jalan malam,” kenangnya.

Sesampai di Jakarta, mereka menetap sementara di hotel Duta Indonesia (Duta Merlin) di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, sebelum akhirnya menetap di kawasan Cijantung, yang sekarang menjadi kompleks perumahan Kopassus. Saat itu, kawasan tersebut sempat dijuluki ’tempat jin buang anak’, saking jarangnya rumah di sana. Masih seperti hutan dan terpencil, jarang orang mau tinggal di sana karena minimnya fasilitas. ”Sejak menetap di Jakarta, kami sekeluarga tidak pernah pindah lagi mengikuti tugas ayah. Kebetulan, ketika itu jika ke daerah, Ayah lebih banyak menjalankan tugas operasi, bukan tugas teritori. Saat itu, kalau orangtua tugas operasi, keluarga tidak boleh ikut. Jadi Ibu lebih banyak berada di Jakarta,” tambahnya.

Toko Bu Bayu

Bicara tentang sosok orangtua, Ny. Ken, menggambarkan mereka sebagai figur yang tegas dan sangat disiplin. Bukan hanya ayahnya yang keras dan penuh disiplin, ibunya pun, tak kalah ‘streng’. Dari orangtuanyalah, khususnya sang Ibu, Ny. Ken banyak belajar kedisiplinan, tanggung jawab, dan kerja keras. Bahwa untuk mencapai sesuatu, orang harus berusaha dan bekerja keras. ”Ibu sangat disiplin. Waktu keseharian saya dan adik-adik, telah terjadwal rapi. Waktu belajar, bermain, dan bekerja, sudah diatur. Kami masing-masing punya tugas. Saya, misalnya, menyapu dan mengepel, setelah merapikan tempat tidur. Kami punya pembantu tetapi tetap harus bekerja. Tugas pembantu hanya mencuci, mensetrika, dan membantu pekerjaan lain kalau kami anak-anak sedang tidak di rumah. Sempat suatu ketika saya tidak menjalankan tugas, eh, Ibu datang ke sekolah saat jam istirahat, meminta saya segera pulang untuk menyelesaikan tugas; tentunya setelah mendapat izin dari guru.

Begitu disiplinnya Ibu, secara tak sadar mengajarkan saya hidup disiplin dan teratur,” ungkapnya. Ibu, lanjutnya, bukan sekadar mengajarkan ’teori’ tetapi juga menunjukkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bagaimana ia bekerja keras mencari tambahan untuk menegakkan kehidupan ekonomi keluarga karena gaji Ayah tak mencukupi untuk kebutuhan hidup sekeluarga sebulan. ”Ibu membuat kue, berjualan kue, bahkan menjadi agen Maxim (peralatan rumah tangga) dan menawarkannya door to door. Kami anak-anak ikut membantu menjalankannya.

Ibu-Ayah mengajarkan bekerja apa pun asalkan halal. Kami tidak boleh malu melakukannya. Ibu sangat ulet. Sampai akhirnya Ibu punya toko. ’Toko Bu Bayu’ sampai sekarang masih dibuka dan terkenal di kawasan Cijantung, dan Ibu meski telah berusia 77 tahun masih tetap mengendalikannya,” paparnya.

Ny. Ken melukiskan ibunya sosok wanita yang pantang menyerah, sampai kini. ”Ayah telah meninggal, tetapi Ibu menolak tinggal kumpul anak-anaknya, meski kami semua sudah menawarinya. Ia juga tak mau menerima bantuan (materi) kami. Ibu memang keras,” tutur Ny Ken dengan nada rendah.

Dulu, tambahnya, Ny. Ken mengaku belum mengerti benar terhadap semua yang diajarkan ibunya. Ia suka menggerutu ketika menjalankan tugas-tugas wajib itu. ”Yah, namanya anak-anak, belum mengerti. Suka ngedumel. Tetapi sekarang terasa, ternyata apa yang diajarkan Ibu sangat bermanfaat bagi hidup saya selanjutnya,” ungkap Ny Ken yang insinyur elektro lulusan Universitas Trisakti Jakarta, ini. (Tokoh)

sn-suwisma1Mayor Jenderal TNI (Purn) S.N. Suwisma lahir di Desa Tamanbali, Bangli, Bali, pada tanggal 10 Mei 149, putra dari Sang Made Pegeg (Veteran Pejuang Kemerdekaan RI) dengan Ni Nengah Menter (alm). Melalui pendidikan SD di Tamanbali, SMPN di Bangli, dan SMA Negeri Denpasar, selanjutnya menempuh pendidikan Akademi Militer (Akmil) di Magelang, dan lulus pada tahun 1971.

Sejak lulus dari Akmil sampai dengan tahun 1974 menjadi Instruktur Akmil, dan sejak 1974 sampai dengan 5 Oktober 1994 mengabdi selama 20 tahun 8 bulan di Pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Di Kopassus menjabat sebagai Komandan Kompi Parako sampai dengan Wakil Komandan Kopassus setelah bertugas sebagai Komandan Upacara Hari Jadi TNI, 5 Oktober 1994, kemudian dimutasi menjadi Komandan Korem 043/Garuda Hitam di Lampung.

Bulan Februari 1996 dipercaya menjadi Komandan Sekolah Calon Perwira TNI-AD di Bandung sekaligus menjadi Brigadir Jenderal TNI, menangani pendidikan Panorama 4 dan Panorama 5. Pada 15 Juli 1997 dipercaya mengemban tugas menjadi Panglima Divisi I Kostrad di Cilodong dengan pangkat Mayor Jenderal TNI. Tahun 1998 dipercaya menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) VI/Tanjung Pura di Kalimantan.

Setahun kemudian dipercaya memangku jabatan sebagai Kepala Staf Kostrad di Merdeka Selatan. Tahun 2000 diberi tugas menjadi Asisten Teritorial KASAD, dan tahun 2001 diangkat menjadi Asisten Teritorial KASUM TNI, dan sejak tahun 2003 selama 13 bulan ditugaskan menjadi Anggota DPR RI dari Fraksi TNI/Polri pada Komisi I yang menangani bidang Pertahanan Keamanan, Luar Negeri, Infokom, dan Sekneg.

Penugasan yang pernah dilaksanakan antara lain adalah: Penumpasan GPRS/Paraku di Kalimantan, Operasi Seroja di Timor Timur, OPM di Irian Jaya, serta tugas-ugas lain di lingkungan militer baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pengalaman berorganisasi di masyarakat: 1988 – 1990 aktif dalam kepengurusan PB Persatuan Judo Seluruh Indonesia dan Pusat Terjun Payung PB FASI; 1997 – 2001 sebagai Ketua Umum PB Pertina; 2003 – 2007 Keua Badan Internal Audit KONI Pusat. Sejak 2005 sampai saat ini menjabat sebagai DIRUT Televisi Pendidikan Indonesia, Komisaris Global TV, dan Komisaris PT Gajah Tunggal (GT Group, Jakarta).

Dalam partisipasi pembinaan umat di setiap tempat tugas diposisikan sebagai sesepuh umat Hindu, antara lain di Jakarta, Lampung, Bandung, Kalimantan, dan Papua. Pada tahun 2000 menjadi Ketua Umum Panitia Dharma Santi Nasional di Candi Prambanan, Jateng; Ketua Panitia karya Ngenteg Linggih pada sasih kapat tahun 2005, dan sebagai Ketua Pembina yayasan Taman Sari, Pura Gunung Salak. Tahun 2006 sebagai Ketua Umum Mahasabha PHDI IX di Jakarta, tahun 2007 menjadi Anggota Sabha Walaka PHDI Pusat.

Tanggal 16 Mei 1980 menikah dengan Ir Rataya B. Kentjanawathy (akrab dipanggil Ken), putrid dari Brigjen TNI (Purn) Rangga B. Bayupathy (alm).Dari perkawinan tersebut dikaruniai tiga orang putra, yaitu; 1. Lettu Inf. Sang Ngurah Wikrama Wirapathy (25 tahun); 2. Sang Ngurah Wiranggana Adityapathy, S.T. (24 tahun); dan 3. Sang Ngurah Wiratama Satriapathy (sedang mengikuti pendidikan Akpol, 18 tahun). ***

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Laman

Kategori